Khatulistiwahits–Lokakarya Internasional “The Expert Consultation Workshop on Asia Pacific Integrated Rural Development and Sustainable Resource Management in the 21st Century: Strategic Actions at the Regional and National Levels”, 6-7 Oktober 2023.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri MS menjadi salah satu pembicara kunci (keynote speaker) dalam event tersebut yang digelar di The Grand Luang Prabang Hotel, Laos, Jumat (6//10/2023).
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin memaparkan pidato kunci berjudul “Integrates Upland – Coastal – Ocean Management for Sustainable Development in the Asia Pacific Rengion”.
Melansir dari milenianews.com, lokakarya internasional itu membahas: (1) Kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan dari 64 negara di Kawasan Asia Pasifik; (2) Kebijakan negara untuk menjadikan 46 negara di kawasan ini yang statusnya masih sebagai negara miskin dan negara berpendapatan menengah menjadi negara maju dan makmur. Selain itu, strategi 18 negara di Kawasan Asia Pasifik yang sudah maju dan makmur dalam membantu 46 negara yang masih miskin dan pendapatan menengah menjadi negara maju dan makmur; dan (3) kebijakan dan program pengatasan kemiskinan pada level keluarga dan individu.
Prof. Rokhmin mengemukakan, setiap negara bangsa di dunia ingin menjadi negara maju, makmur, dan berdaulat. Namun, dari 64 negara di Kawasan Asia-Pasifik sejauh ini hanya 13 negara (20,30%) yang telah mencapai status mulia tersebut.
“Dari perspektif ekonomi, untuk mentransformasi 51 negara yang tersisa di Kawasan ini dari status negara berpendapatan rendah (miskin), berpendapatan menengah ke bawah, dan berpendapatan menengah atas menjadi negara maju, makmur (negara berpendapatan tinggi), dan berdaulat; mereka harus meningkatkan daya saing, dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (minimal 7% per tahun), inklusif (mensejahterakan seluruh rakyat secara adil), ramah lingkungan, dan berkelanjutan,” kata Prof. Rokhmin dalam rilis yang dilansir milenianews.com.
Ia menambahkan, untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berdaya saing, maka harus dilakukan Structural Economic Transformation (SET) atau Transformasi Ekonomi Struktural. “Dalam konteks ini, SET melibatkan realokasi faktor-faktor produktif dari pertanian tradisional (termasuk budidaya perikanan dan perikanan tangkap) ke pertanian modern, industri manufaktur, dan jasa; realokasi faktor-faktor produktif tersebut ke dalam kegiatan sektor manufaktur dan jasa; pergeseran penggunaan faktor produktif dari sektor dengan produktivitas rendah ke sektor dengan produktivitas tinggi (kegiatan ekonomi); dan membangun kapasitas bangsa untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional untuk menghasilkan kegiatan ekonomi baru (termasuk Industri 4.0), memperkuat hubungan ekonomi dalam negeri, dan membangun kemampuan teknologi dan inovasi dalam negeri,” paparnya.
Untuk menjamin kelestarian lingkungan dan inklusivitas SET tersebut, implementasinya harus didasarkan pada Pembangunan Pedesaan Terpadu, dan Pengelolaan Dataran Tinggi-Pesisir-Lautan Terpadu. “Selain itu, masyarakat miskin, serta usaha mikro dan kecil harus diberikan akses yang mudah dan setara terhadap sumber daya keuangan (pinjaman Bank), teknologi, infrastruktur, pasar, informasi, dan aset produktif ekonomi lainnya, yang selama ini dinikmati oleh masyarakat kaya dan korporasi besar di wilayah tersebut,” kata Prof. Rokhmin yang juga ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).
Di tengah tiga krisis ekologi (polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan Global Boiling), seluruh kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis harus dilakukan berdasarkan prinsip zero-waste, zero-emission, green economy, dan blue economy. “Lebih penting lagi, kualitas sumber daya manusia (pengetahuan, keterampilan, keahlian, dan etos kerja), khususnya di daerah pedesaan, juga harus ditingkatkan secara signifikan melalui layanan gizi, kesehatan, dan pendidikan yang lebih baik serta program pelatihan dan penyuluhan. Terakhir, kebijakan politik dan ekonomi termasuk stabilitas politik dan perdamaian, moneter, fiskal, Investasi Iklim, dan Kemudahan Berusaha harus dibuat kondusif. Dan, kerja sama dan kolaborasi yang saling menguntungkan antar negara-negara di kawasan dan dengan negara-negara lain di dunia juga harus diperkuat dan ditingkatkan,” ujar Prof. Rokhmin yang juga anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman.
Tingkat Kemakmuran Berbeda-beda
Lebih rinci, Prof. Rokhmin menyebutkan, enam puluh empat (64) negara yang terletak di Kawasan Asia Pasifik mempunyai status (tingkat) pembangunan (kemakmuran) yang berbeda-beda, mulai dari negara berpendapatan tinggi (makmur) seperti Qatar, Singapura, Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, Uni Arab Emirates, Arab Saudi, dan Nauru ke negara-negara berpenghasilan rendah (miskin) termasuk Yaman dan Afghanistan.
“Di antara 64 negara, 18 negara (28,1%) telah mencapai status negara berpendapatan tinggi (GNI per kapita > USD 13,845; 19 negara (29,7%) merupakan negara berpendapatan menengah ke atas (GNP per kapita USD 4,466 – 13,845) ; 25 negara (39,1%) termasuk negara berpendapatan menengah ke bawah (GNI per kapita USD 1,136 – 4,465, dan 2 negara (3,1%) masih tergolong negara berpendapatan rendah (GNI per kapita < USD 1,136),” papar staf ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2010 – 2014; dan 2020 – 2024) itu.
Sementara itu, kualitas sumber daya manusia yang tercermin dalam HDI (Human Development Index) di Kawasan Asia-Pasifik juga berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Dua puluh satu (21) negara (33,33%) memiliki IPM (Indeks Pengembangan Manusia) sangat tinggi yang telah memenuhi salah satu syarat untuk menjadi negara maju dan sejahtera (berpenghasilan tinggi), yaitu memiliki IPM 0,8 atau lebih tinggi dari 0,8 (UNDP, 2018) . Misalnya Australia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Jepang, Republik Korea, Qatar, Rusia, Turki, Kanada, dan Amerika.
Sedangkan sembilan belas (19) negara (30,16%) termasuk dalam kategori HDI tinggi termasuk Tiongkok, Iran, Palau, Mesir, Palestina, Uzbekistan, dan Indonesia. Dua puluh (20) negara (31,75%) memiliki IPM sedang seperti Filipina, Irak, India, DPR Laos, Kamboja, Myanmar, Vanuatu, dan Papua Nugini. Dan, tiga negara (Pakistan, Afghanistan, dan Yaman) masih memiliki IPM yang rendah.
Sementara itu, kualitas dan keberlanjutan ekosistem alam di sebagian besar negara berpendapatan tinggi umumnya berada dalam kondisi baik hingga sangat baik. Sebaliknya, di sebagian besar negara berpendapatan menengah dan rendah, kualitas dan keberlanjutan lingkungan hidup berada dalam ancaman besar akibat kebijakan dan praktik pembangunan yang tidak berkelanjutan.
“Jadi, dari perspektif pembangunan berkelanjutan, kecuali Tiongkok dan Turki, sebagian besar negara berpendapatan rendah dan menengah di Kawasan Asia-Pasifik menghadapi semacam dilema. Di satu sisi, mereka harus meningkatkan pemanfaatan dan pengembangan sumber daya alam untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menyediakan lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Di sisi lain, mereka harus mengurangi intensitas pembangunan akibat meluasnya polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi lingkungan lainnya. Keadaan ini diperparah dengan dampak Perubahan Iklim seperti gelombang panas, cuaca ekstrem, kenaikan permukaan air laut, dan pengasaman laut,” ujar mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2001 – 2004).
Tujuh Kebijakan untuk SET
Structural Economic Transformation (SET) atau Transformasi Ekonomi Struktural meliputi: (1) realokasi faktor-faktor produktif dari pertanian tradisional ke pertanian modern, industri manufaktur, dan jasa; (2) realokasi faktor-faktor produktif tersebut ke dalam kegiatan sektor manufaktur dan jasa; (3) pergeseran penggunaan faktor-faktor produktif dari produktivitas rendah ke produktivitas tinggi; dan (4) membangun kapasitas negara untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional untuk menghasilkan kegiatan ekonomi baru, memperkuat hubungan ekonomi dalam negeri, dan membangun kemampuan teknologi dan inovasi dalam negeri (PBB, 2008).
Prof. Rokhmin menyebutkan tujuh kebijakan untuk SET. Pertama, penyelenggaraan penataan ruang terpadu dataran tinggi-pantai-samudera. Sekurang-kurangnya 30% dari total satuan kawasan pengelolaan harus dialokasikan untuk kawasan lindung. Sisanya sebesar 70% dapat digunakan sebagai zona pengembangan. Sesuai dengan kesesuaian lahan dan perairannya, maka setiap kegiatan (sektor) pembangunan harus berlokasi pada zona pengembangan.
Kedua, tingkat pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara ramah lingkungan, tidak melebihi daya terbarukan dan daya dukung lingkungan hidup.
Ketiga, modernisasi sektor primer (pertanian, budidaya perairan, perikanan tangkap, kehutanan, dan peternakan) dengan menerapkan prinsip ekonomi skala, teknologi terkini (Industri 4.0), Sistem Manajemen Rantai Pasokan Terpadu, dan Pembangunan Berkelanjutan.
Keempat, revitalisasi industri manufaktur (pengolahan) yang sudah ada antara lain agroindustri, industri pengolahan ikan, industri tekstil, industri pengolahan kehutanan, dan lain-lain.
Kelima, mengembangkan industri manufaktur baru seperti bioteknologi, nanoteknologi, semikonduktor, chip, baterai, industri 4.0, energi terbarukan, dan industri maritim.
Keenam, manfaat pertumbuhan ekonomi tinggi yang dihasilkan SET harus dimanfaatkan untuk mensejahterakan seluruh rakyat (warga negara) secara adil dan berkelanjutan.
Ketujuh, seluruh kebijakan politik dan ekonomi harus kondusif bagi Transformasi Ekonomi Struktural dan Pembangunan Berkelanjutan.
Ia juga membahas tentang pentingnya pengentasan kemiskinan di tingkat individu (keluarga). Menurutnya, akar penyebab (anatomi) kemiskinan ada tiga. Pertama, kemiskinan alami: miskinnya sumber daya alam, dan/atau tingginya risiko bencana alam.
Kedua, kemiskinan budaya: rendahnya kualitas sumber daya manusia (sumber daya), misalnya etos kerja yang rendah; dan kurangnya pengetahuan, keterampilan, keahlian, dan kapasitas teknologi
Ketiga, kemiskinan struktural: kegagalan kebijakan pemerintah, hambatan masyarakat miskin terhadap aset ekonomi produktif.(KH**)