Khatulistiwahits.com, Jakarta—Muhammadiyah merupakan ormas Islam yang terbukti sukses mengembangkan bidang Pendidikan, dari PAUD/TK hingga perguruan tinggi. Lembaga Pendidikan Muhammadiyah bukan hanya tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari desa hingga kota, tapi juga hingga ke mancanegara.
Sekretaris umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Med diundang menjadi salah satu narasumber Seminar Nasional AYPI 2024: Menuju Pendidikan Islam Berkelas Dunia yang digelar oleh Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam (AYPI) di Aula Serbaguna Universitas YARSI Jakarta, Sabtu, 10 Agustus 2024. Narasumber lainnya adalah Dr. H. Adian Husaini, PhD. (cendekiawan Muslim, ketua umum DDII dan ketua Program Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor).
Seminar nasional yang mengusung tema “Tantangan dan Peluang Lembaga Pendidikan Islam dalam Menyongsong Satu Abad Indonesia Merdeka (Indonesia Emas)” itu dibuka dengan keynote speech oleh Rektor Universitas YARSI Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D.
Dalam kesempatan tersebut, Prof Abdul Mu’ti memaparkan peluang dan tantangan pendidikan Islam sekarang dan yang akan datang. “Lembaga pendidikan Islam berperan penting membangun manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa,” ujarnya dalam rilis yang diterima Khatulistiwahits.com.
Menurutnya, pendidikan dan lembaga penbdidikan Islam punya prospek baik. Ia mengemukakan beberapa alasan.
Pertama, secara demografi, pertumbuhan umat Islam sangat baik. Jumlah umat Islam dunia mencapai 2 milyar lebih. Dan Indonesia dikenal sebagai negara paling dermawan sedunia.
Kedua, meningkatnya kelas menengah umat Islam di Indonesia. “Mereka ini boleh disebut Mukidi = muda, kaya, inetelelek, dermawan dan idealis. Kelompok muda, pendidikan tinggi atau lebih baik. Mereka ingin punya generasi yang lebih baik dari mereka,” ujarnya.
Ketiga, tingginya kesadaran pendidikan Islam di kalangan masyarakat.
Keempat, tingginya komitmen umat lslam Indonesia. Sebagai gambaran, Jumlah masjid di Indonesia (tidak termasuk mushala) mencapai sekitar 800 ribu, lebih tinggi dari penduduk Brunai yang mencapai sekitar 500 ribu orang.
“Ketaatan umat Islam Indonesia juga sangat tinggi. Penelitian menunjukkan ketaatan beragama umat Islam Indonesia lebih tinggi dari Arab Saudi dan Mesir,” ungkapnya.
Kelima, jaringan umat Islam antarnegara. Banyak lembaga Islam yang bermitra dengan lembaga Islam di berbagai negara.
“Keenam, janji kampanye Prabowo-Gibran, terkait rencana adanya dana abadi pesantren,” paparnya.
Tantangan
Namun, kata Prof. Mu’ti, lembaga pendidikan Islam masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, tantangan kualitas: masih ada kesehangan antar lembaga pendidikan Islam (formal). “Lembaga-lembaga pendidikan Islam rata-rata mutunya agak di bawah, akreditasinya rata-rata B dan C, bahkan tidak masuk akreditasi,” ungkapnya.
Kedua, problem kelembagaan (internal). Kebanyakan lembaga pendidikan Islam itu milik keluarga. Hidup matinya tergantung founder/ tokohnya. Pendiri meninggal dunia, generasi penerusnya belum tentu bisa melanjutkan dengan baik.
Juga, masalah finansial. Tokoh/pendiri kaya, mampu. Penerusnya tidak mampu. “Harus dicari solusinya agar masalah manajemen tersebut bisa diperbaiki,” kata Prof. Mu’ti.
Baca Juga : Sambut HUT Ke-79 Kemerdekaan RI, AYPI Gelar Seminar Nasional Kupas Pendidikan Islam Berkelas Dunia
Ketiga, tantangan politik. Masih ada dikotomi negeri dan swasta. Pemerintah lebih mengurusi sekolah negeri, dan menganggap sekolah swasta sebagai saingan.
“Masih ada mindet di antara penyelenggara negara bahwa mereka hanya mengurusi sekolah negeri, sedangkan sekolah swasta suka-suka mereka saja,” ujarnya.
Padahal, kata Prof. Mu’ti, mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tanggung jawab semua. Baik sekolah negeri maupun sekolah swasta, sama-sama anak-anak bangsa. “Kadang-kadang perhatian pemerintah kepada swasta seperti perhatian ke anak tiri,” tuturnya.
“Di Indonesia, masih ada stigma umat Islam anti NKRI, antitoleransi. Ada sebagian penyelenggara negara yang memberikan stigma presntren anti-NKRI,” ujarnya.
Keempat, masalah paedagogis. “Ada tantangan paedagogis yang harus kita jawab. Paedagogis yang masih gagap (gak bisa) dan gugup (takut) menjawab tantangan zaman,” kata Prof. Mu’ti.
Langkah Perbaikan
Prof. Mu’ti lalu memaparkan sejumlah langkah perbaikan yang perlu dilakukan oleh para pengelola lembaga pendidikan Islam. Pertama, tingkatkan kualitas pendidik (guru), tenaga kependidikan (tendik), dan sarana prasarana (sarpras). “Bagaimanapun, peran guru tetap nomor satu. Secanggih apapun alat/teknologi, tak bisa menggantikan peran guru. Kualitas guru menjadi nomor satu dan harus sangat diperhatikan. Apalagi bicara guru secara role model,” ujarnya.
Terkait perbaikan sarpas, kata Prof. Mu’ti, juga menjadi hal yang penting. “Sebab, masyarakat kita tetap melihat fisik (sarpras),” tuturnya.
Kedua, tidak kalah pentingnya adalah penguatan kelembagaan (Good Governance Goverment). “GCG harus jadi adarah pengembangkan lembaga Pendidikan ke depan. Terapkan SOP (Prosedur Operasional Standar) dan RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah),” kata Prof. Mu’ti.
Ia menegaskan, lembaga pendidikan Islam harus menerapkan sistem manajemen yang baik. “Kembangkan kemampuan agile leadership, kemampuan menyesuaikan diri. Tidak bergantung kepada 1 orang, tapi tim,” tegasnya.
Ketiga, perlu penguatan kemampuan frinansial. “Kalau finansial kuat, lembaga pendidikan Islam mandiri secara politik,” ujarnya.
Keempat, perkuat jaringan (network) antarlembaga pendidikan Islam.
Juga, perlu mengembangkan lembaga pendidikan yang inklusif. “Sebagai contoh: lebih dari 75 persen mahasiswa Universitas Muhammadiyah di NTT maupun Universitas Muhammadiyah di Sorong (Papua) beragama Kristen dan Katolik,” ungkapnya.
Kelima, tidak kalah pentingnya, komunikasi politik dengan penerimtah di semua level.
Prof. Mu’ti menegaskan, kelebihan lembaga pendikan Islam adalah pembentukan karakter yang kuat dan akhlak yang baik. Ini bagian dari kekuatan lembaga pendidikan Islam, sehingga menjadi pilihan masyarakat. “Skill/hard skill bisa dipelajari lewat kursus/ otodidiak, tapi pembentukan krakater harus lewat pendidikan,” kata Prof. Mu’ti.