KhatulistiwaHIts.com–Budaya ngeteh bagi warga Kota Solo dan sekitarnya dikenal sangat kuat. Minuman teh menjadi suguhan yang istimewa, baik di perjamuan atau saat nongkrong di wedangan.
Tradisi minum teh di tanah Jawa terutama Solo sudah berkembang dari zaman kolonial, salah satunya di lingkungan kerajaan. Mereka memiliki tradisi minum teh sebagai perantara untuk berdiskusi dengan tamu yang dijamu.
Memang aktivitas ngeteh sudah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat Solo selama puluhan tahun. Sampai lahir guyonan di meja makan bahwa acara ngeteh laksana sembahyang, wajib untuk ditunaikan.
Budaya Ngeteh Warga Solo yang Khas dengan Teh Nasgitel
Mereka menggemari teh yang nasgitel, singkatan dari panas, legi (manis) dan kenthel (kental). Warung dan wedangan berlomba-lomba menyajikan resep teh yang memanjakan lidah dan kerongkongan.
Padahal, di masa lalu, Mangkunegaran dikenal sebagai salah satu pemilik perkebunan kopi. Mereka menanami lahannya dengan tanaman kopi termasuk di kawasan lereng Lawu.
Baca Juga: Event Saprahan Khatulistiwa 2022 Upaya Dorong Percepatan Pemulihan Ekonomi Kalbar
Uniknya, kebiasaan minum kopi di Solo dan sekitarnya tidak sekuat daerah-daerah lain. Kota Jogja, misalnya, memiliki budaya kopi joss dan kopi klotok. Namun warga Solo tetap bertahan dengan budaya ngeteh yang kuat.
Sejarawan Universitas Sanata Dharma Jogja, Heri Priyatmoko mengatakan kehadiran perkebunan Kopi di Mangkunegaran tak serta merta menumbuhkan budaya minum kopi yang kuat di masyarakat dan aristokrat Solo.
Pada era itu banyaknya varian minuman, kopi hanya selipan di antara banyaknya minuman. Selain itu perkebunan kopi itu lebih ke arah upaya bisnis dan ekspor pada masanya.
Sedangkan penguasa Keraton Kasunanan Solo, Paku Buwono X, pada masanya memiliki sebuah pabrik teh bernama Madusita di kawasan Ngampel. Keberadaan pabrik teh tersebut membawa dampak ekonomi terhadap masyarakat.
Awalnya tradisi minum teh di Solo juga merupakan budaya masyarakat kelas elite. Minum teh merupakan tradisi yang berkembang di dalam tembok keraton.
“Minum teh juga menjadi bagian dari jamuan makan tamu agung. Seperti tanggal 2 Juli 1901, Raja Siam (Thailand) berkunjung ke Mangkunegaran dan Kasunanan. Raja diajak ke ruang makan mewah untuk menyantap sajian makanan dan minum teh,” kata Heri beberapa waktu lalu.
Kebiasaan minum teh para bangsawan ini juga menggambarkan status sosial mereka. Sebab mereka seakan memamerkan perlengkapan minum teh mereka dari porselen, perak, hingga emas.
Meski demikian kebiasaan minum kopi sebenarnya juga hidup di kalangan bangsawan. Namun kopi tidak pernah jadi sajian utama.
“Di pawon keraton seperti pawon ageng bisa menyediakan apapun tergantung selera raja. Ada lagi pawon khususkan untuk minuman eropa, susu. Ini bisa semua, tidak mengenal waktu, tapi lebih banyak teh dalam perayaan-perayaan keraton. Dilayani dengan teh karena teh ini lebih general, kopi belum banyak dijumpai dari berbagai literatur dalam suguhan utama,” ujar Heri.
Seiring waktu berjalan, budaya ngeteh tak lagi milik elite. Terutama di Solo, hampir seluruh warganya suka minum teh. Atau paling tidak mereka menyediakan teh di rumahnya jika ada tamu datang.
Kini di angkringan atau wedangan kaki lima pun menjajakan aneka minuman teh, dari teh krampul hingga teh tape, hangat maupun dingin.
Kedai Kopi Mulai Menjamur Ditengah Budaya Ngeteh Warga Solo
Seperti kota-kota lain pada umumnya, tren masyarakat modern juga terjadi di Kota Solo. Beberapa tahun terakhir coffee shop dan warung kopi menjamur di kota itu.
Tiap coffee shop punya pelanggan. Tempat-tempat tersebut menjadi lokasi nongkrong terutama para muda.
“Kopi sekarang banyak sekali coffee shop bahkan fenomena coffee yang tempat biasa jadi jujukan ini karena faktor boom dan popularitas, solo akhirnya ikutan. Padahal dilacak pengenalan kopi itu sudah lama, hanya fenomena yang lagi trend saja,” ujar Heri.
Baca Juga:Ruwatan Rambut Gimbal Desa Dieng Kembali Digelar Setelah 2 Tahun Terhenti
Meski demikian, warga Solo yang masih hobi ngeteh lebih suka menyambangi warung-warung wedangan langganannya. Di Pasar Gede Solo, kini juga masih banyak pedagang yang menjual teh oplosan dengan resep-resep tertentu.
Teh sudah selayaknya daya hidup bagi orang Solo. Mereka bisa melewatkan ngopi, namun tidak dengan ngeteh. Walaupun menyesap wedang teh bukan kultur asli Indonesia. Melainkan, akibat pengaruh komunitas Belanda yang menginjakkan kaki di tanah jajahan.(**KH)